Whoa,it’s almost a year passed since I updated my blog!!
Holla there,I’m back with bunch of unorganized story and
event. Karena penulis sedang (sok) konsen menghadapi hal yang menjadi momok
seluruh mahasiswa tingkat akhir [*eaa], makanya ini mau pemanasan ngupdate blog
dulu. Kali ini mau cerita tentang wayang orang; apa? Belum pernah nonton? Oo
iya, aku pun baru sekali kemarin. :3
Sebagai warga Solo pasti tau Sriwedari dong yaa. Tapi apa
ngerti di kompleks selebar itu di jantung kota ada apa aja? Selain Taman
Hiburan Rakyat (THR) sama MbuSri tempat hunting buku murah,ada juga Gedung
Wayang Orang (GWO) yang tiap malam selain hari Minggu ada pementasan dengan
harga tiket (hanya) Rp 3.000 saja. Nah, di sini saya mau cerita pengalaman
pertama kali nonton wayang orang selama 22 tahun saya hidup di (pinggiran)
Solo. Oiya, nontonnya sama Benny dong. Dia yang pertama ngajakin cultural visit
murah meriah,hhe. :)
Pertama menginjakkan kaki di GWO, sudah menyiapkan batin
kalo yang nonton nantinya pasti orang ‘berumur’ dan beberapa bule yang bila
ditotal hanya sedikit. Tapi cukup melegakan karena malam itu lumayan penuh di
kursi depan, walau kapasitas gedung cukup besar. Dan lumayan ada anak-anak muda
yang diajak orang tuanya, pokoknya menurut Benny yang pernah sebelum itu nonton
ya lumayan deh. Kami pilih kursi di depan tengah biar lebih deket sama live music yang tidak lain adalah
gamelan. Sekilas panggung cukup sederhana tapi cukup menarik perhatian, dan gamelannya
berada di depan-bawah panggung jadi gak keliatan kalo lampu dimatiin. Untuk
standar ruangan ya cukup lah, ada air
conditioner lumayan baru tapi
kayaknya ndak nyala atau lagi pengiritan.
Cerita dalam
Pertunjukan Wayang Orang
|
Sumantri dan Sukasrana (sumber: wayang.files.wordpress.com) |
|
Lakon dalam pertunjukkan malam itu adalah ‘Sumantri
Sukasrana’ nama 2 tokoh utamanya. Dikisahkan Sumantri pamit pada ayahnya hendak
pergi mengabdi pada Harjuna Sasrabahu di Maespati. Oleh ayahnya, Sumantri
diberi gaman (senjata) pusaka. Ketika ayahnya bertanya apa lagi yang Sumantri
butuhkan, ia menjawab bahwa Sumantri ingin ditemani oleh Sukasrana adiknya. Maka
terkejutlah ayahnya dan bertanya sekali lagi apakah Sumantri yakin dengan
perminttan tersebut. Apa pasal? Berbeda dengan Sumantri yang gagah dan rupawan,
Sukasrana berwujud Buto Bajang yang buruk rupa, keriting, cebol, dan hitam. Namun
dibalik wujudnya yang bagai Buto itu, kesaktian Sukasrana setingkat lebih
tinggi daripada Sumantri. Kedua kakak-beradik tersebut selama ini selalu
bersama tak terpisahkan dan saling menyayangi. Ayahnya bertanya apakah wujud
Sukasrana yang menyeramkan tersebut tidak membawa ganjalan nantinya, dan apakah
Sumantri tidak malu dan dapat menjaga adiknya apapun yang terjadi? Sumantri
bersumpah,selama hidupnya tidak sekali pun ia merasa malu akan adiknya dan
berjanji akan selalu menjaga Sukasrana karena mereka saling menyayangi. Maka
berangkatlah mereka berdua ke Maespati.
|
Sumantri memboyong Sang Puteri (dok. pribadi) |
Ketika sampai di Maespati dan bertemu dengan Prabu Harjuna
Sasrabahu, Sumantri memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud hendak
mengabdi. Maksud itu diterima dengan syarat Sumantri harus dapat memenangkan
sayembara dan memboyong seorang Puteri Rempong (maaf gak inget namanya) ke
Maespati. Hal itu bukan perkara sulit bagi Sumantri yang dikenal sebagai
Ksatria hebat. Ia mengalahkan semua lawan dengan mudah dan berhasil memboyong
Puteri Rempong yang diiringi dengan Puteri Dhomas. Tapi Sumantri tak segera
pulang ke Maespati, melainkan malah menantang Prabu Harjuna di perbatasan untuk
perang tanding. Singkat cerita, Sumantri tidak dapat mengalahkan Harjuna meski dengan Pusakanya sekali pun. Mengakui kesaktian Sang Raja, Sumantri
menyerahkan Puteri Rempong padanya.
Sebagai hukuman karena Sumantri sudah menantangnya, Prabu
Harjuna meminta nya untuk membuatkan taman seindah taman-taman di khayangan dalam satu
malam. Mendengar hal tersebut, Sumantri langsung lemas dan merasa hal itu mustahil
dilakukan. Melihat kakaknya merana, Sukasrana bertanya apa ada hal yang
mengganjal kakak kesayangannnya tersebut. Setelah menceritakan permasalahan
yang dihadapi, Sukasrana malah tertawa dengan jenaka dan menyebutkan bahwa hal
itu sangat mudah dilakukan olehnya. Ia berjanji untuk membantu membuat taman
khayangan dan ia menepatinya, taman yang muncul setelah Sukasrana bertapa itu
diberi nama Sriwedari.
Melihat hasil kerja (yang dikira) Sumantri itu,Prabu Harjuna
sangat senang dan menghadiahkan Taman Sriwedari pada Puteri Rempong dan
Dhomas”nya untuk tempat bersenang-senang. Di tengah canda ria para puteri,
Sukasrana muncul dan mengagetkan semua puteri yang langsung menjerit dan lari.
Prabu Harjuna kemudian mendengar cerita Puteri Rempong yang melihat sosok Buto
Bajang dan meminta pada Sang Prabu untuk memusnahkannya. Tugas itu lalu
diberikan pada Sumantri untuk memusnahkan Buto tersebut. Sumantri bagai
tersambar petir ketika menerima mandat tersebut, tidak berani ia mengakui bahwa
Buto Bajang tersebut adalah adiknya sendiri. Maka ia berjalan gontai dengan
wajah galau dan sesekali menangis, menghadapi dilema untuk membunuh adiknya
sendiri atau dihukum oleh Prabu Harjuna Sasrabahu.
Sekali lagi Sukasrana mendapati kakaknya bersedih hati dan
dengan baik hati ia menawarkan bantuan apapun asal kakaknya senang. Sumantri
awalnya mengelak untuk bercerita tapi Sukasrana tetap mendesak untuk membantu
meringankan beban kakaknya. –sampai di sini akan ada 2 ending-
a) Menurut yang saya tonton
Akhirnya Sumantri berterus terang jika ia diperintahkan
Prabu Harjuna untuk melenyapkan sosok Buto Bajang yang terlihat di Taman
Sriwedari dan membuat takut Para Puteri, jika gagal maka Sumantri yang akan
mati. Mendengar hal itu, Sukasrana ikut terduduk lemas dan menyesal karena
menyebabkan kakaknya terlibat dalam masalah yang begitu besar. Sumantri
meyakinkan bahwa apapun yang terjadi ia tidak akan membunuh adiknya sendiri.
Tapi Sukasrana mencoba merebut keris dan meminta Sumantri untuk membunuhnya
saja daripada Sumantri dihukum mati. Terjadi perebutan sengit dan karena
Sukasrana lebih kuat dari Sumantri, pada akhirnya kerisnya menancap di perut
sang adik. Sambil meregang nyawa dan di sela tangisan kakaknya, Sukasrana
mengatakan jika ia rela mati karena ia tak dapat tetap hidup tanpa Sumantri.
Lalu ia menghembuskan nafas terakhirnya..
b) Menurut penuturan orang tua
Sumantri kemudian menyuruh Sukasrana pergi sejauh mungkin
dari Taman Sriwedari, jika tidak ia akan diburu oleh pengawal kerajaan.
Sukasrana menolak dan dengan memelas ia memohon untuk tetap ikut kakaknya, “Aku
elu akang ati.. akang ati.. aku elu..” karena mereka tidak terpisahkan sejak
kecil. Dengan sangat terpaksa di tengah kesedihan mendalam, Sumantri
membidikkan busur dengan anak panah ke arah Sukasrana untuk menakut-nakutinya
saja. Tapi Sukasrana tetap bergeming, dan malah maju menghampiri Sumantri.
Karena kalut,tangannya tidak sengaja terlepas dan panah tepat mengenai adiknya.
Sumantri begitu menyesal dan menangiisi sambil memeluk adiknya erat, yang
hingga di ujung hidupnya berujar, “Aku elu akang ati.. akang ati.. aku elu..” (Dikenal
juga dengan judul Sumantri Ngenger.red)
-akhir dari 2 ending-
[saya nangis dengan suksesnya ketika Sukasrana mati. T^T]
Di penghujung cerita, ayah mereka berdua menuturkan bahwa
Sukasrana adalah ari-ari dari Sumantri sendiri. Jadi mereka berdua adalah suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Menurut versi yang saya tonton sih, arwah
Sukasrana mendatangi Sumantri dan berkata bahwa ia belum bisa menuju khayangan
pada saat itu juga dan besok ketika Sumantri meninggal ia akan datang menjemput
kemudian mereka berdua menuju khayangan bersama-sama. [FIN]
Kalo saya pribadi lebih suka ending yang b) soalnya lebih
tragis dan nggeloake bianget. Betapa setianya Sukasrana dan rela melakukan apa
saja demi kakak yang disayanginya. Dalam hal ini Sumantri tidak bisa dibilang
mengkhianati, tapi memang pengecut yang tidak berani mengakui adiknya yang
berwujud Buto Bajang itu. Dan juga, Sumantri ingkar janji kepada ayahnya untuk
tetap menjaga Sukasrana dan malah terjadi tragedi. Padalah di awal cerita
ayahnya sudah mengingatkan apakah Sumantri yakin mau mengajak Sukasrana, dengan
konsekuensi yang harus ia tanggung. Mungkin kalian yang baca agak susah
membayangkan adegan”nya ya? They perform it so beautifully. Properti dan kostum
sangat menarik dan memanjakan mata, backdrop cukup bervariasi dan membawa
suasana. Yang terlibat di satu pementasan itu gak sedikit hlo, bahkan lebih
banyak dari jumlah penontonnya. Dari pemain dan figuran, penabuh gamelan
(disebutnya Niaga) dan sinden, dhalang, serta kru belakang layar. Jangan
membayangkan pergantian latar belakang yang sudah otomatis ya, it’s a classic
and I don’t mind at all! Setelah dipikir setiap bangsa punya kebudayaan serupa,
kalau di Eropa barat ada Opera, di Amerika ada Broadway, di Cina ada Potehi,
maka kita punya Wayang Orang dan ini aset kebudayaan yang besar! Dengan perhatian
dan support dari Pemerintah (yang entah kapan terwujud), saya yakin pertunjukan
semacam ini akan semakin banyak peminat dan tentu pelestarinya. Demikian review
dari saya.. ;)
Kembali ke non-teknis pertunjukkan. Yang cukup disayangkan
itu ya sistem manajemennya kurang profesional secara dikelola sama pemkot,harus
banyak maklum deh. Pertunjukkan dijadwalkan mulai jam 20.00 wib, emang sih
pintu GWO dibuka tepat jam segitu tapi setelah duduk di dalam kita harus nunggu
setengah jam. Entah nunggu pemainnya siap apa gimana, yang pasti penonton udah
gak sabar pengen liat. Kemudian di sebelah GWO kan ada THR yang ketika malam
dipakai untuk acara Koes-Plus’an jadi musiknya sampe kedengerang dari dalam GWO
dan cukup ganggu konsentrasi sih. Tapi untuk tiket seharga Rp 3.000
pertunjukkan malam itu udah TOP BANGET!! Mengaduk-aduk perasaan aku gituh.
Sebenernya sih ga keberatan kalo harga tiketnya naik tapi masalah manajemennya
diperbaiki.
Masih penasaran sama publikasi dari pertunjukkan ini, apa
disiarkan di radio lokal juga? Soalnya kan lumayan untuk sekedar informasi
judul pementasan hari itu, dan menunjukkan bahwa mereka masih tetap eksis. Dan
harusnya bentuk support pemkot di bagian
itu aja,soalnya vital. Tanpa publikasi, akan tetap ada penonton setia, tapi sungguh
sayang pertunjukkan semacam ini hanya disaksikan segelintir orang yang setengah
tertidur. Bahkan tidak ada tepuk tangan setelah tirai diturunkan, kurang ngenes
opo? Sedangkan di bioskop saja kalian nggak ragu kasih applause kalo film’nya
bagus, padahal aktornya kan gak denger applause kalian juga. Nha ini, pemainnya
Cuma berjarak kurang dari 10 meter dari penontonnya dan live action. Saya
sempat gatal pengen tepuk tangan tapi kok udah langsung pada pulang, seperti
halnya Sumantri, saya pun pengecut dan gak jadi tepuk tangan. Pengen kasih tau
mereka sih kalo saya appreciate dan menikmati pertunjukkan. Kepuasan seorang
artis adalah ketika mereka perform tapi kebahagiaan adalah ketika audience
menikmati dan menghargai jerih payah mereka, salah satunya ditunjukkan dengan
applause. Oh well,overall, that night was a wonderful experience and I’d love
to watch them again. Oiya, satu hal yang mengurangi kepuasan adalah gagal foto
bareng sama wayangnya. Yang jadi Sumantri cakep banget,bok! Prabu Harjuna juga
lumayan kece. (*o*)