Andai saja semua percaya jika pada saat raga tak tercerap
indera, jiwa tak benar-benar pergi...
Selama hidup, manusia memecah jiwa menjadi beberapa keping
dan kepingan-kepingan tersebut yang akan lekat pada jiwa lain bersama siapa ia
telah berbagi. Kepingan itu berwujud kenangan. Ada yang ingin menyimpan dan
membingkainya untuk dapat dikenang dan dibanggakan, ada yang memang melekat
tanpa kita mau. Dan rindu yang kadang menyisakan nyeri, tak lain adalah lekatan
jiwa yang menyapa, mengetuk gugusan kenangan secara berkala karena menolak
dilupakan. Semakin besar jiwa lain yang melekat, semakin sering ia menyapa
dengan hanya menyisakan diri yang haus akan kehadiran raga si empunya kepingan
jiwa. Maka kita tak kan heran jika seseorang mampu merasakan kehadiran orang
terdekat saat mereka telah tiada, karena mereka tak benar-benar pergi.
Dan percayalah, sayang, jiwamu lekat terlalu banyak pada
punyaku. Hingga betapa aku mencoba untuk abaikan, ia mengetuk ruang kenangan
lebih riuh, merengek minta dibukakan. Yakin hanya kau yang mendamba
keberadaanku di sisimu? Percayalah, aku sama hausnya denganmu akan waktu yang
harusnya bisa kita bagi bersama. Aku hanya mencoba berdamai dengan jiwamu,
menikmati setiap letupan rindu ketika ia buka pintu-pintu kenangan dengan sembrono.
Pikiran mungkin menipu tentang rindu, tapi hati yang paling tau apalah arti
jarak dan waktu, jika sekeping jiwa telah melekatimu, ia tetap tinggal sekalipun kau tak mau..
Jakarta, 30 April 2014